Selasa, 27 Desember 2011

Lelaki di Kala Hujan

Aku berdiri di teras depan rumah, memandang lurus ke depan, sesekali mataku terpejam sambil merasakan tetesan air hujan yang terbawa angin dan menerpa wajahku dengan lembut. Sudah hampir satu jam aku berada di sini, tetap di tempat yang sama aku berdiri, tidak bergeser sedikitpun walaupun hujan semakin deras dan semakin membasahi tubuhku. Aku tahu, sesekali ibu memandangku dari balik jendela ruang tamu, memastikan kalau aku baik-baik saja. Rupanya ibu sudah lelah memperingatkanku untuk tidak melakukan hal ini lagi, karena pasti akan selalu aku bantah. Aku sadar semua itu dilakukan karena ibu mengkhawatirkanku, tetapi kenangan itu tidak mampu membuatku beranjak dari tempatku berdiri sekarang.
***
Langit sudah terlihat semakin gelap, aku pun segera mematikan laptop kesayanganku bersiap untuk menyambut hujan. Ketika keluar kamar, aku tergoda oleh aroma tempe yang sedang digoreng ibu. Sebelum hujan turun, aku bergegas ke dapur dan mengambil sepotong tempe goreng yang masih panas dan kumasukkan ke dalam mulutku.
“Masih panas, Ra. Tunggulah sampai agak dingin baru kamu makan.” kata ibu melihatku kepanasan memakan tempe goreng tersebut.
“Justru di sini sensasinya, Bu. Lagian, sebentar lagi kan hujan, jadi harus habis sebelum hujan datang.” jawabku sambil menggigit lagi potongan tempe goreng yang masih ada di tanganku.
“Ingat, jangan terlalu lama kamu lakuin ritualmu itu, nanti kamu sakit.” kata ibu sambil menoleh ke arahku, sementara tangannya masih dengan cekatan membalik tempe yang ada di penggorengan.
“Tenang aja ibu sayang.” kataku sambil membersihkan tangan dengan kain lap yang ada di samping ibu dan meminum teh milik ibu.
Saat itu juga terdengar tetesan air hujan yang mulai turun mengenai atap rumah, aku pun bergegas menuju depan rumah. Lewat jendela ruang tamu, aku melihat seorang lelaki sedang berteduh dari derasnya hujan di teras rumahku. Posisi rumah yang tepat berada di sisi jalan raya dan tidak berpagar, sering digunakan oleh pengendara motor berteduh di kala hujan.
Sebenarnya agak tidak enak juga kalau ada orang lain di saat aku menikmati hujan. Tetapi hujan yang baru turun setelah tidak turun selama empat hari membuatku rindu padanya. Akhirnya aku putuskan untuk tetap keluar rumah, toh aku juga tidak mengganggunya.
Kubuka pintu perlahan, sambil menikmati hembusan angin yang terasa dingin menerpa wajahku. Lelaki itu menoleh ke arahku dengan terkejut. Aku pun tersenyum kepadanya sebagai tanda mengizinkannya untuk tetap berteduh di sana. Dia pun membalas senyumanku.
Aku terdiam saat melihatnya tersenyum. Wajahnya memang biasa saja, namun senyumannya mampu membuatku lupa pada hujan untuk beberapa saat. Aku tidak mau berlama-lama menikmati senyuman itu, karena hujan sudah menungguku. Kututup pintu perlahan, kemudian aku berdiri di pinggir teras rumahku, supaya bisa mendapatkan kesegaran secara maksimal.
Aku sendiri lupa, sejak kapan aku memulai kebiasaanku ini. Aku begitu jatuh cinta dengan hujan. Bau tanah yang basah, angin yang dingin, hempasan air hujan yang menerpa wajah, semua itu membuatku jatuh cinta pada hujan.
Segala yang berkaitan dengan hujan menjadi candu buatku. Aku memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma yang ada. Belum puas dengan semua itu, aku mengulurkan kedua tanganku agar bisa merasakan langsung tetesan air hujan, rasanya begitu nikmat. Kubuka kembali mataku, memandang ke arah langit. Mendung masih menggantung di sana, tanda hujan masih betah berlama-lama turun. Aku pun tersenyum.
Tiba-tiba aku terusik karena menyadari lelaki itu memandangiku. Mungkin dia bingung akan apa yang aku lakukan.
“Aku suka hujan.” kataku menjawab rasa penasarannya yang tidak dia utarakan.
Aku menoleh ke arahnya, dan tersenyum memandang wajahnya yang bingung. “Ya, aku suka hujan. Tiap kali hujan turun, aku selalu berdiri di sini. Membiarkan air hujan menerpa wajahku, menghirup aromanya dalam-dalam. Aneh ya?”
Akhirnya dia tertawa.”Tapi kalau kehujanan seperti aku sekarang pasti nggak suka kan?”
Aku pun ikut tertawa. “Sepertinya sih begitu, apalagi sampai basah semua seperti kamu sekarang.” jawabku sambil memandang tubuhnya yang basah. Sesekali dia menggigil kedinginan.
“Kedinginan ya?” tanyaku meskipun sudah tau jawabannya.
“Apa lagi yang kamu harapkan kalau basah seperti aku? Dingin banget.” jawabnya.
Aku tertawa. “Kasihan.” lalu kembali memandang hujan.
“Cuma begitu?” tanyanya heran.
“Masuklah, tunggu hujan reda di dalam garasi. Ada tempat duduknya kok, tapi aku masih mau nikmatin hujan di sini.” kataku.
“Nggak ah, nggak enak.” katanya sambil sesekali tubuhnya bergetar karena kedinginan.
“Okelah, aku temani.” kataku sambil berjalan menuju garasi rumah. Entah kenapa aku telah menduakan hujan, rela meninggalkannya demi lelaki itu, lelaki yang belum aku kenal. Namun aku menghentikan langkahku karena menyadari lelaki itu tidak mengikutiku, namun tetap berdiri di posisinya semula.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kamu kan belum kenal aku. Kalau aku orang jahat gimana?”
“Kamu orang baik kok. Kalau kamu memang orang jahat, jadilah orang baik sebentar aja, karena aku udah baik sama kamu. Oke?”
“Kamu memang aneh.” katanya sambil mengikutiku masuk ke dalam garasi. Aku hanya membalas dengan tersenyum.
Kami berdua duduk di atas kursi panjang yang ada di dalam garasi. Kebetulan mobil keluargaku sedang dipakai oleh bapak, jadi garasi sekarang dalam keadaan kosong.
“Kenapa?” tanyaku karena sadar dia telah memperhatikanku semenjak duduk tadi.
“Heran aja sama kamu. Suka banget sama hujan, ngebiarin orang asing masuk ke dalam rumah pula.” jelasnya.
“Ini kan garasi, kamu masih belum masuk ke dalam rumah kok. Makanya aku berani ajak kamu kesini. Kalau ke dalam rumah, bisa dimarahin sama ibu. Kalau masalah kesukaanku sama hujan, susah dijelaskan dengan kata-kata. Yang penting nggak merugikan orang lain boleh kan?”
“Iya deh.” jawabnya sambil tersenyum.
Senyuman itu lagi. Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa aku sampai begitu menyukai senyuman lelaki itu. Senyumannya begitu khas, dengan sudut bibir sebelah kanan ditarik ke atas, mungkin kalau orang lain yang melihatnya akan menganggapnya senyuman sinis. Tapi menurutku, itu adalah senyuman paling indah.
“Aksa.” kata lelaki itu.
“Hah?” aku keheranan tidak paham maksudnya.
Dia mengulurkan tangannya kepadaku. “Namaku Aksa. Kamu?” ternyata dia sedang memperkenalkan diri.
“Oh, aku Rara.” jawabku sambil menjabat tangannya.
Awalnya kami mengobrolkan sesuatu yang ringan, tapi kelamaan kami hanya menghabiskan waktu dengan diam. Entah kenapa, aku yang biasanya paling suka berbicara, mendadak menjadi orang paling pendiam. Sesekali dia memancingku untuk berbicara, tapi aku lebih suka untuk menikmati senyumnya, sambil merasakan kesegaran hujan.
“Eh, udah lumayan reda ujannya. Aku lanjutin perjalanan dulu ya.” kata Aksa sambil berdiri. “Makasih udah izinin aku berteduh di sini.”
“Eh, iya. Hati-hati di jalan ya.” kataku sambil melepas kepergiannya.
Diiringi dengan rintik hujan yang masih turun, aku memandanginya pergi, sampai punggungnya yang tegap tidak terlihat lagi. Aku menyesali hujan yang cepat berlalu. Aku masih belum puas menikmati senyumnya, aku masih ingin bersamanya.
Aku sungguh ingin bertemu dengannya lagi. Tapi aku hanya tahu namanya. Aksa, berapa banyak orang di kotaku yang bernama Aksa? Ah, kenapa tadi aku lebih mementingkan egoku sebagai perempuan untuk tidak bertanya lebih lanjut padanya? Dimana rumahnya, atau minimal bisa tahu nomor handphonenya. Ya sudahlah, kalau memang jodoh, pasti akan ketemu kembali, meskipun kemungkinannya kecil.
Seminggu sudah sejak aku bertemu dengan Aksa. Aku ingin segera melupakannya, tapi senyuman Aksa selalu ada di saat aku memejamkan mata. Baiklah, mungkin ini salah satu nikmat Tuhan yang sudah diberikan padaku, karena hanya dengan mengingat senyum Aksa bisa membuat hatiku menjadi lebih tenang.
Kubuka kembali laptop kesayanganku, dengan serius kulanjutkan novel yang sedang kutulis. Aku sudah mulai mencium bau hujan yang akan datang. Kulihat ke arah langit, ternyata memang sedang mendung, aku pun tersenyum. Disaat akan turun hujan seperti ini, aku memiliki harapan baru. Harapan untuk bertemu kembali dengan Aksa, kembali memandang senyumnya. Mungkin selamanya akan menjadi sebuah harapan, tapi justru harapan itulah yang menjadikanku lebih mencintai hujan.
Hujan mulai turun. Deras, tanpa basa basi. Sebenarnya aku ingin segera berlari keluar rumah untuk menyambut hujan, namun ide yang sudah terkumpul di otak harus segera dikaluarkan agar tidak menguap begitu saja.
Sebentar ya hujan, sebentar lagi aku akan datang. Jangan terlalu cepat pergi ya, tunggu aku.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara bel rumah. Sedang tidak ada orang di rumah selain aku, jadi aku terpaksa meninggalkan yang sedang aku lakukan untuk sementara waktu. Setengah berlari, aku menuju depan rumah dan membuka pintu.
Aku pun sangat terkejut dengan apa yang aku lihat. Aksa berdiri menggigil kedinginan dengan pakaian basah, namun tetap tersenyum padaku.
“Hujan udah datang daritadi, kenapa kamu nggak keluar? Aku sampai kedinginan nungguin kamu keluar.” kata Aksa.
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku heran, walaupun dalam hati aku melonjak kegirangan melihat kehadirannya.
“Malah balik tanya. Boleh numpang berteduh lagi nggak?”
“Masuk deh.”
“Tapi aku kan basah gini. Di garasi lagi aja ya?”
“Oke, aku bukain dulu ya.”
Dan di sinilah kami sekarang. Menghabiskan waktu dengan mengobrol, sambil menikmati hujan. Di dalam garasi, tempat yang sama dengan seminggu yang lalu, awal pertemuan kami. Kali ini aku mulai terbiasa dengan senyumnya, obrolan kami pun mengalir begitu saja.
“Kapan-kapan, aku boleh kan ke sini biarpun sedang nggak hujan?” tanya Aksa.
“Mmmm, boleh nggak ya?”
“Boleh lah Ra, aku jamin, aku ini cowok baik-baik.” kata Aksa, kembali diiringi dengan senyuman miringnya.
“Oke lah. Ada bagusnya juga kamu nggak basahin garasiku lagi.”
Dari sanalah, dari pertemuan kedua itu, akhirnya berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya. Memang tidak selalu di saat hujan, tetapi pertemuan itu semakin terasa indah ketika hujan, karena aku sekarang memiliki teman untuk menikmati hujan bersama. Hubungan kami terasa begitu indah, dan mengalir begitu saja. Tidak ada kalimat peresmian seperti yang biasa dikatakan orang lain, yang ada hanyalah kenyataan bahwa aku menyayanginya, dan dia pun menyayangiku. Tidak membutuhkan waktu lama juga untuk menyadari bahwa kami akhirnya bisa saling mencintai.
Entah di pertemuan ke berapa, Aksa datang dengan membawa sebuah bungkusan kecil.
“Apa ini?” tanyaku.
“Simpan dulu, kamu buka setelah aku udah dirumah. Sekarang aku pulang dulu ya.”
“Tapi udah gelap gini, nggak mau temenin aku nikmatin hujan?”
“Aku ada perlu Ra, aku harus pulang sekarang. Justru sebelum hujan datang, biar aku nggak kehujanan.”
“Tapi….”
“Udahlah Ra, nanti aku SMS kamu kalau aku sudah sampai rumah. Setelah itu, baru kamu boleh buka bungkusan ini.”
“Ya sudah, hati-hati ya.”
Entah kenapa perasaanku tidak tenang melepas kepergiannya kali ini. Namun aku hanya bisa berdoa semoga Aksa baik-baik saja. Aku memandang bungkusan kecil itu. Sebuah kotak kecil dibungkus kertas kado warna merah muda berpita merah.
Aku masuk ke dalam kamar, meletakkan bungkusan itu di atas meja riasku. Perjalanan dari rumahku ke rumahnya memakan waktu kurang lebih lima belas menit, aku menanti datangnya SMS dari Aksa agar segera bisa membuka bungkusan itu.
Setengah jam telah berlalu semenjak Aksa meninggalkan rumahku, aku pun mulai cemas karena masih belum ada SMS darinya. Aku menunggu dengan gelisah, sesekali aku ke depan rumah, berharap Aksa kembali datang. Namun apa yang kunantikan tak kunjung datang.
Akhirnya aku berusaha untuk menghubunginya, tidak dijawab. Berkali-kali aku berusaha menghubunginya, tetap saja tidak dijawab. Entah panggilan ke berapa, akhirnya dijawab juga, hatiku sedikit merasa lega. Namun itu tidak berlangsung lama begitu tahu yang menjawab bukan Aksa, dan mendengar apa yang dikatakan orang tersebut membuat jantungku rasanya berhenti berdetak.
“Halo, saya Gunawan. Maaf saya mengangkat panggilan dari mbak. Lelaki yang memiliki HP ini mengalami kecelakaan mbak, dia ditabrak oleh sebuah mobil yang tidak bisa dikendalikan karena jalan licin. Maaf juga saya harus mengabarkan kalau lelaki ini meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke rumah sakit. Mungkin mbak bisa menghubungi keluarganya untuk segera ke rumah sakit dan….” kata-kata selanjutnya sudah tidak dapat aku dengar. Kakiku bergetar, aku pun terduduk lemas.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Lalu aku teringat akan bungkusan yang tadi diberi oleh Aksa, aku pun membukanya.
Di dalam kotak itu, terdapat sebuah kertas yang dilipat. Aku pun membuka lipatan kertas  tersebut dan mulai membacanya.

Rara sayang…
Kamu ingat nggak hari ini hari apa?
Hari ini, tepat setahun yang lalu, pertama kali aku bertemu kamu…
Kamu, cewek aneh yang suka berdiri di teras rumah sambil menikmati hujan, dengan santainya mengajak aku yang hanya berniat berteduh dari hujan masuk ke dalam rumahmu (pasti dalam hati kamu bilang garasi, hehe).
Tapi aku bersyukur Ra, karena keanehanmu itulah aku jadi bisa mengenalmu, dan bisa menyayangi serta mencintai kamu…
Maaf aku hanya bisa memberi kertas ini, kamu kecewa ya?
Nggak usah kecewa, karena aku sudah menyiapkan sesuatu yang spesial buat kamu..
Aku sengaja memberimu dulu surat ini, agar kamu sedikit penasaran, hehe..
Tapi juga agar aku punya waktu untuk menyiapkan segalanya..
Sekarang juga, kamu siap-siap ya sayang, sepuluh menit lagi akan ada yang datang menjemputmu, dan membawamu ke tempatku sekarang..
Dandan yang cantik ya sayang, I LOVE YOU…
***
Aku berdiri di teras depan rumah, memandang lurus ke depan, sesekali mataku terpejam sambil merasakan tetesan air hujan yang terbawa angin dan menerpa wajahku dengan lembut. Sudah hampir satu jam aku berada di sini, tetap di tempat yang sama aku berdiri, tidak bergeser sedikitpun walaupun hujan semakin deras dan semakin membasahi tubuhku. Aku tahu, sesekali ibu memandangku dari balik jendela ruang tamu, memastikan kalau aku baik-baik saja. Rupanya ibu sudah lelah memperingatkanku untuk tidak melakukan hal ini lagi, karena pasti akan selalu aku bantah. Aku sadar semua itu dilakukan karena ibu mengkhawatirkanku, tetapi kenangan itu tidak mampu membuatku beranjak dari tempatku berdiri sekarang.
Kenangan tentang pertemuan kami, kenangan tentang rencana perayaan setahun pertemuan kami, segala kenangan tentang Aksa. Demi merayakan setahun pertemuan kami, Aksa telah menyiapkan sebuah makan malam yang romantis untuk kami berdua. Semua itu aku ketahui setelah aku ditelepon oleh pihak café yang menanyakan tentang pemesanan tempat yang telah dilakukan tetapi kami tidak kunjung datang sampai café tersebut tutup. Rupanya Aksa juga meninggalkan nomor teleponku pada pihak café. Semua itu dilakukan karena dia mencintaiku, aku tahu itu.
Tapi kenapa semua ini harus terjadi? Sampai sekarang aku tidak bisa mengerti kenapa dia harus meninggalkanku di saat aku benar-benar mencintainya, tidak hanya mencintai senyumnya dan hujan.
Aku sudah merasa kedinginan, hujan kali ini rupanya betah untuk berlama-lama turun, menemaniku mengingat kenangan indahku bersama Aksa. Namun aku masih tetap bertahan, sampai tetesan hujan terakhir hari ini. Tak terasa air mataku mulai jatuh, kenangan bersama Aksa dan hujan tidak bisa kupungkiri telah membuatku tidak sanggup berdiri tegak.
Aku merasakan seseorang menahanku di saat aku hampir saja jatuh. “Mbak kenapa?” tanyanya.
Aku melihat ke arahnya. Ternyata seorang lelaki dengan wajah khawatir memandang ke arahku. Tatapannya membuat hatiku bergetar. Aku ingin menolak perasaan itu, karena aku tidak ingin ada yang menggantikan kehadiran Aksa di antara aku dan hujan. Aku pun menepis tangannya yang menahanku dan kembali berdiri tegak.
“Makasih.” kataku singkat. Lalu dia pun tersenyum. Senyuman yang begitu khas, dengan sudut bibir sebelah kanan ditarik ke atas, dan segalanya berubah mulai detik itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar